Istilah
negosiasi menggambarkan proses diskusi dari dua pihak atau lebih untuk mencapai
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Tujuan harus dibuat win-win
situation, artinya sama-sama tidak ada yang dirugikan atau sama-sama
menguntungkan bagi pihak yang terkait. Proses ini akan cukup sulit apabila
terjadi diantara orang-orang dengan latar belakang yang sama, bahkan akan
sangat komplek dalam negosiasi internasional karena perbedaan nilai budaya,
gaya hidup, harapan, verbal dan non-verbal language, pendekatan terhadap
prosedur formal, dan tehnik pemecahan
masalah. Kompleksitas akan meninggi
ketika negosiasi lintas batas karena adanya banyak pihak yang terkait.
Pengimplementasian
strategi tergantung pada kemampuan manager untuk bernegosiasi secara produktif,
artinya keterampilan akan sangat dipertimbangkan sebagai satu hal yang sangat
penting bagi yang melakukan perundingan. Dalam arena global, perbedaan budaya
menyebabkan kesulitan dalam proses negosiasi. Perbedaan-perbedaan penting dalam
proses negosiasi dari negara ke negara termasuk: 1). Jumlah dan jenis persiapan
negosiasi. 2). Penekanan pada tugas-tugas negosiasi terhadap hubungan
interpersonal. 3). Didasarkan pada prinsip-prinsip umum dibanding isu-isu
spesifik. 4). Jumlah orang yang hadir dan sejauhmana pengaruhnya. Para manager harus
mengenali diri dengan latar belakang budaya dan menggarisbawahi motivasi dari
para negosiator, seperti taktik dan prosedur yang mereka gunakan, untuk
mengontrol proses, membuat kemajuan, dan memaksimalkan tujuan perusahaan.
Proses negosiasi terdiri dari lima tahap, dimana urutan
mungkin bervariasi berdasarkan pada norma budaya; bagi banyak orang, membangun
hubungan adalah bagian dari proses yang berlangsung dalam berbagai negosiasi,
antara lain: 1). Persiapan, 2). Membangun hubungan, 3). Pertukaran informasi
yang berhubungan dengan tugas, 4). Persuasi, 5). Konsesi dan kesepakatan. (Deresky,
2011:
165)
Tahap Negosiasi : |
Persiapan
Membangun hubungan
Pertukaran informasi ttg tugas
Persuasi
Konsesi & Persetujuan
1. Tahap
satu : Persiapan
Pentingnya
persiapan yang cermat dalam negosiasi, tidak boleh terlalu berlebihan-lebihan
menekankan pada persoalan. Keuntungan yang berbeda dapat diperoleh apabila para
negosiator mengenali dirinya dengan kontek keseluruhan dan latar belakang
konterpartnya (tidak masalah dimana negosiasi terjadi) sebagai tambahan kepada
subjek khusus yang dinegosiasikan. Karena hampir semua problem negosiasi
disebabkan oleh perbedaan budaya, bahasa, dan lingkungan, waktu yang
dipersiapkan secara taktis sehingga negosiasi dapat sia-sia apabila
faktor-faktor ini tidak diperhitungkan dengan hati-hati.
Untuk
mengerti perbedaan budaya dalam gaya negosiasi, para negosiator pertama-tama
harus mengerti gayanya sendiri dan kemudian menentukan bagaimana mereka berbeda
dari norma-norma yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan profile
yang diterima sebagai negosiator sukses di kondisi yang berbeda-beda. Profile
semacam ini merefleksikan sistem nilai, perilaku, dan harapan dalam sebuah
masyarakat. Setelah mengembangkan profile pihak lain, para pelaku dapat
merencanakan pertemuan negosiasi sebenarnya, dan pada saat yang sama menjaga
keterbukaan untuk menyadari bahawa
orang-orang tertentu mungkin saja tidak sesuai dengan protopite budaya
yang sudah diasumsikan. Sebelum negosiasi, mereka harus sudah mendapatkan
sebanyak mungkin informasi tentang : (1). Jenis permintaan yang mungkin dibuat,
(2). Komposisi dari tim seberang/lawan, (3). Otoritas yang dimiliki oleh
anggota. Terkadang, dalam beberapa kasus, kompromi lokasi negosiasi dapat
memberikan sinyal sebuah strategi kooperatif, yang oleh Weills disebut
‘Improvise Approach: Effect symphony’ yaitu strategi yang ada bagi negosiator
yang saling mengenal budaya satu sama lain dan kemauan untuk menempatkan
negosiasi pada dasar yang sama.
2. Tahap
dua : Membangun Hubungan
Membangun hubungan adalah
proses mengenal seseorang pelaku negosiasi dan membangun saling percaya sebelum
masuk ke dalam diskusi dan transaksi bisnis. Negosiator yang efektif meluangkan
banyak waktu dalam jadwalnya untuk membangun hubungan dengan partner. Proses
ini biasanya mengambil bentuk seperti sosial event, tour/perjalanan/wisata, dan
perhelatan, bersamaan dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan bisnis –
percakapan umum dan sopan, dan komunikasi informal sebelum meeting – sementara
masing-masing pihak saling mengenal satu dengan yang lainnya. Dalam budaya yang
demikian, seseorang dengan sabar menunggu pihak lain untuk memulai negosiasi, menyadari bahwa
membangun hubungan pada kenyataannya adalah langkah pertama dalam negosiasi.
Biasanya direkomendasikan bahwa bagi manager yang baru mengerti skenario
seperti ini untuk menggunakan penghubung – yaitu seseorang yang sudah memiliki
kepercayaan dari manager asing dan yang karenanya bertindak sebagai ‘jembatan
penghubung’. Permulaan negosiasi hanya untuk tujuan saling mengenal. Misalnya
orang Arab melakukan bisnis dengan orang secara pribadi dan bukan dengan
perusahaan, untuk itu kepercayaaan harus dibangun.
Sebagai jembatan kepada
tahap negosiasi yang lebih formal, membangun hubungan seperti ini diikuti oleh
kegiatan memposturkan – maksudnya diskusi umum yang menyiapkan situasi untuk negosiasi.
Tahap ini akan menghasilkan spirit kerjasama. Untuk itu maka negosiator harus
menggunakan kata-kata yang ‘respect’
dan ‘mutual benefit’ dan tidak menggunakan kata-kata yang arogan, menunjukkan
superior, atau kepentingan.
3. Tahap
tiga : Pertukaran informasi yang berkaitan
Pada
tahap ini masing-masing pihak membuat presentasi dan menyatakan posisinya
masing-masing; tanya jawab biasanya terjadi, dan mendiskusikan
alternatif-alternatif.
Dari perspektif Amerika, hal ini mewakili pada
pokok permasalahan, tujuan, efisien, dan tahap yang bisa dipahami. Tetapi pada
tahap ini, negosiator dari negara lain lebih kepada pendekatan individu.
Misalnya negosiator Mexico biasanya tidak langsung dan penuh curiga, menyajikan
materi riil yang hanya sedikit dan lebih bertele-tele, percakapan yang bernada
mengelak. Negosiator Perancis, menikmati debat dan konflik dan akan sering
menginterupsi presentasi untuk memberikan argumentasi tentang sebuah isue
meskipun hanya sedikit berhubungan dengan materi yang dipresentasikan.
Negosiator China juga bertanya banyak pertanyaan kepada lawan negosiasi dan
menyelidik secara berulang-ulang dengan sangat detail; tetapi sebaliknya,
presentasi negosiator China berisi materi yang kurang jelas dan ambigu.
Negosiator
Rusia juga memasuki negosiasi dengan persiapan yang baik dan benar-benar
menguasai detail khusus tentang materi yang dipresentasikan. Untuk menjawab
pertanyaan mereka, biasanya akan lebih baik dibawa seseorang dengan keahlian
menjawab permintaan teknis yang meletihkan. Negosiator Rusia juga menekankan
pada protokol dan mengharapkan berhubungan dengan Top Eksekutif saja.
Adler
menyarankan bahwa negosiator seharusnya fokus tidak hanya pada penyajian
situasi dan kebutuhan mereka tetapi juga
menunjukan pengertian pandangan lawan negosiator. Memfokuskan pada keseluruhan
situasi mengkonfrontasi masing-masing pihak mendorong negosiator mengevaluasi
alternatif lebih luas untuk mencapai resolusi. Dia menyarankan bahwa agar
mencapai keefektifan maksimum, negosiator harus mempersiapkan meeting dengan
mempraktekan peran secara berulang dan seolah-olah nyata.
4. Tahap
empat : Persuasi
Tahap
berikutnya adalah Persuasi yang merupakan awal tawar menawar yang sulit. Kedua
belah pihak mencoba membujuk yang lain untuk menerima lebih banyak posisi
mereka dan menghentikan beberapa dari miliknya. Seringkali, persuasi sudah
mulai terjadi sebelumnya dalam seting sosialisasi dan melalui saling kontak. Di
Timur jauh, detail biasanya dilakukan sebelumnya melalui pendekatan informal
dan tidak resmi atau sembunyi-sembunyi. Tetapi, mayoritas persuasi terjadi satu
sesi negoasiasi. Manager internasional biasanya mendapati bahwa proses
tawar-menawar dan pembuatan konsesi ini penuh dengan kesulitan karena
penggunaan dan interpretasi yang berbeda dari
nonverbal yang digunakan.
Studi
tentang perilaku bernegosiasi telah mengungkapkan penggunaan taktik tertentu,
yang digunakan oleh negosiator yang
trampil, misalnya janji-janji, ancaman, dan lainnya. Taktik yang kurang bagus
kadang-kadang digunakan dalam negosiasi internasional. Disebut ‘Trik Kotor’,
taktik ini menurut Fisher and Ury, termasuk usaha untuk mengarahkan lawan
negosiasi ke arah yang salah. Sebagian negosiator dapat memberikan informasi
yang salah atau informasi fakta yang tidak tersaring atau menggunakan otoritas
yang kurang jelas-yaitu memberikan kesan konflik tentang siapa di pihak mereka
yang memiliki otoritas untuk membuat komitmen. Di tengah-tengah tawar menawar
yang alot, manager internasional yang hati-hati akan memfollow up informasi
yang menyesatkan sebelum mengambil tindakan yang didasarkan pada kepercayaan.
Taktik
kasar lainnya didesign untuk menempatkan
lawan negoiasi dalam situasi yang secara phisik atau secara psikologis membuat
stres sehingga informasi yang mereka berikan lebih memungkinkan. Hal ini
termasuk temperatur ruangan yang tidak nyaman, pencahayaan yang terlalu terang,
kasar, interupsi, dan lainnya. Negosiator internasional harus selalu ingat,
bahwa apa yang kelihatannya trik kotor bagi orang Amerika adalah cara bagi budaya lain dalam melakukan negosiasi. Di
beberapa negara Amerika Selatan, merupakan hal yang biasa memulai negosiasi
dengan memberikan informasi palsu atau informasi yang menyesatkan.
Perilaku
yang sangat licik yang tidak kentara dalam proses negosiasi dan sering sangat
sulit untuk dimengerti adalah pesan nonverbal- nyaitu menggunaan intonasi
suara, ekspresi wajah dan gerak gerik, kontak mata, pakaian, dan penjadwalan
negoasiasi. Perilaku non verbal adalah aspek yang mendarahdaging dari budaya yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari; non verbal ini bukan dibuat untuk tujuan negosiasi. Diantara
perilaku-perilaku tersebut, yang sangat mempengaruhi negosiasi adalah gaya
komunikasi langsung, seperti German dengan Jepang yang tidak langsung. Jelas
bahwa dimensi budaya kelompok-individual sangat berpengaruh pada arah negosiasi
karena motivasi ketertarikan individu dalam masyarakat yang individualistik,
seperti AS dibandingkan dengan ketertarikan kelompok di budaya Asia, sehingga
negosiator akan mementingkan kewajiban sosialnya dan kebutuhan kelompoknya.
Persuasi
benar-benar tujuan utama yang perlu digarisbawahi dari semua tahap dalam proses
negosiasi. Secara umum, persuasi adalah bagian yang integral dari proses
pembuatan konsesi dan sampai pada kesepakatan.
5. Tahap
lima : Konsesi dan Persetujuan
Tahap terakhir dari proses negosiasi adalah konsesi dan
kesepakatan-taktik sangat bervariasi dalam budaya. Negosiator yang siap
menyadari adanya berbagai strategi konsesi dan sudah memutuskan di
depan/sebelum strategi konsesinya sendiri. Mengenali posisi awal yang tipikal
yang akan diambil oleh berbagai pihak, mereka mengetahui bahwa negosiator Rusia
dan China umumnya membuka tawar menawarnya dengan posisi yang ekstrim,
menanyakan lebih dari yang mereka harapkan untuk diperoleh, sementara
negosiator Swedia biasanya mulai dengan apa yang mereka persiapkan untuk
diterima.
Penelitian di AS menggambarkan bahwa hasil akhir yang
lebih baik diperoleh dengan posisi ekstrim. Dengan pendekatan ini, proses
pencapaian kesepakatan melibatkan penjadwalan yang hati-hati dari informasi
yang terungkap dan konsesi. Kebanyakan orang yang sudah mempelajari negosiasi
percaya bahwa negosiator akan menyingkap
hanya informasi yang perlu dan mereka akan mencoba mendapatkan informasi
sedikit demi sedikit untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tanpa membuka
tujuan mereka atau strategi konsesinya. Garis besar ini tidak akan bekerja
dalam negosiasi budaya karena proses negosiator Amerika dalam menyatakan isu,
akan tidak umum di negara lain.
Lagi-lagi,
pada tahap akhir dari kesepakatan dan kontrak, praktek lokal menentukan
bagaimana kesepakatan-kesepakatan ini akan dihargai. Amerika memandang kontrak
secara serius, sementara Rusia sering mengkhianati kontrak mereka.
Perundingan kolektif (collective bargaining) adalah suatu proses
dimana para wakil (representatif) dari dua kelompok bertemu dan
bermaksud merundingkan (negosiasi) satu perjanjian yang mengatur
hubungan-hubungan kedua belah pihak di waktu yang akan datang
(Hani handoko, 2000:218). Perundingan kolektif merupakan kerangka hubungan
antara pegawai yang terwakili oleh serikat pekerja dengan pihak manajemen,
untuk melakukan negosiasi dalam penetapan syarat-syarat hubungan kerja.
Perundingan
Kolektif merupakan suatu proses pemimpin
serikat yang mewakili kelompok karyawan menegosiasikan syarat-syarat khusus
kerja dengan wakil yang ditunjuk dari pihak manajemen. Perundingan kolektif sebagai hubungan yang berkelanjutan
antara majikan dan organisasi buruh yang ditunjuk untuk tujuan negosiasi
persyaratan kerja, perundingan kolektif sebagai suatu proses yang
berkesinambungan, dimulai dengan negosiasi kontrak kerja dan
ketentuan administrasinya. Proses
perundingan kolektif ini juga menangani keluhan karyawan dalam kesepakatan
kerja yang sifatnya final dan mengikat
(Carrell dan Heavrin, 2010:106).
Organisasi buruh atau serikat buruh
dipilih oleh sekelompok karyawan, untuk mewakili mereka di meja perundingan.
Meskipun serikat buruh dipilih oleh karyawan, ketika akan mewakili mereka atau
kelompok tertentu atau unit perundingan, keberadaannya harus diakui oleh National Labor Relations Board
(NLRB). Di
bawah hukum AS, organisasi buruh diberi hak untuk mewakili semua karyawan dari
unit perundingan. Hak ini memberikan pengaruh bagi kepemimpinan serikat dalam
negosiasi karena manajemen tidak dapat mencari penganti serikat untuk
menegosiasikan perjanjian lain. Istilah kerja yang dinegosiasikan secara umum
meliputi harga tenaga kerja, misalnya upah
dan kesejahteraan, aturan
kerja, termasuk
jam kerja,
klasifikasi
pekerjaan, usaha
yang dibutuhkan, praktik
kerja, hak
individu dalam kerja, seperti
senioritas, prosedur ketertiban,promosi
dan prosedur PHK,
manajemen dan
hak serikat,
metode
pelaksanaan
dan administrasi
kontrak, termasuk
resolusi pengaduan.
Dalam perundingan kolektif perwakilan
dari manajemen dan karyawan duduk dalam satu meja perundingan menegosiasikan
tentang kontrak kerja, tim merundingkan tentang tingkat upah yang tepat, jam kerja, dan kondisi
pekerjaan lainnya. Perundingan kolektif sebagai
proses yang rumit dimana para negosiator dari serikat kerja dan pihak
manajemen, saling mengadakan manuver untuk memenangkan kontrak yang paling
menguntungkan. Dalam perundingan kolektif ada dua tipe dasar perundingan,
yaitu: (1) Tradisional dan (2) Integratif. Perundingan
tradisional menyangkut masalah distribusi “Benefits”, yaitu pengupahan, kondisi
kerja, promosi, pemutusan hubungan kerja, hak-hak manajemen dan lain
sebagainya.
Kedua adalah perundingan integratif, perundingan ini
jarang terjadi, karena perundingan ini berkaitan dengan berbagai masalah timbal
balik kedua belah pihak yang lebh besar, terutama menyangkut upaya pemecahan
masalah atau pendamaian konflik-konflik yang terjadi. Perundingan integratif
banyak dikatakan cocok untuk pengalokasian sumber daya dan beban kerja,
perancangan pekerjaan-pekerjaan yang menarik, pelaksanaan pengendalian karyawan
atau “kualitas kehidupan kerja”. Tipe ini juga hendaknya digunakan dalam
penentuan jam kerja, penggajian, kompensasi tambahan, prosedur promosi, dan
keamanan kerja. Dalam pelaksanaan tipe integratif, hendaknya pihak serikat
kerja dan manajemen harus memandang pihak lain sebagai pihak yang dapat
dipercaya dan kooperatif, keduanya harus memegang komitmen.
Menurut
Randall S. Schuler dan Susan E. Jakson (1999:270), ada lima
jenis perundingan yang dilaksanakan dalam negosiasi, yaitu distributif,
integratif, konsesioner, berkesinambungan, dan intraorganisasional. Perundingan
distributif terjadi bila perselisihan antara masing-masing pihak, dan hasilnya
memberikan kemenangan bagi satu pihak dan memberikan kekalahan bagi pihak
lainnya, masing-masing pihak berusaha mendapatkan hasil yang paling
menguntungkan. Contoh mengenai permasalahan upah.
Perundingan
integratif, terjadi bila terdapat lebih dari satu permasalahan yang harus
dipecahkan dan mendapatkan kesepakatan integratif. Perundingan integratif
berfokus pada solusi kreatif yang memadukan kepentingan masing-masing pihak,
dan memberikan keuntungan bersama. Perundingan konsesioner biasanya terkait
dengan kondisi ekonomi organisasi, untuk terus hidup dan berkembang organisasi
berusaha memperoleh konsensi dari serikat kerja, dan menjanjikan keamanan kerja
sebagai imbalannya. Perjanjian seperti ini merupakan solidaritas serikat kerja,
kredibilitas kepemimpinan, pengendalian serta pengaruh dan efektifitas serikat
kerja.
Perundingan
berkesinambungan, sebagai tindakan kesepakatan, kewajiban memelihara
keselamatan kerja, serta peraturan pemerintah lainnya, kemudian membuat situasi
bertambah rumit baik bagi serikat kerja maupun organisasi, dan seiring dengan
perubahan lingkungan yang terus meningkat, maka negosiator berpaling pada
perundingan yang berkesinambungan. Perundingan intraorganisasi, perundingan
dengan pihak-pihak terkait atas perubahan-perubahan dalam posisi perundingan.
Dalam
pelaksanaan perundingan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, karena akan
mempengaruhi sikap, proses dan hasil perundingan. Faktor yang dapat
mempengaruhi perundingan, yaitu:
1.
Cakupan
perundingan, yaitu cakupan pekerja yang akan terkena hasil perundingan atau
perjanjian kerja.
2.
Tekanan-tekanan
perundingan serikat kerja, beberapa strategi yang digunakan untuk memaksa
kelonggaran-kelonggaran dari organisasi, (1) pemogolan (strikes), (2) picketing
(mencegah atau menghalangi karyawan-karyawan yang ingin masuk kerja sewaktu
diadakan pemogokan, dan (3) boycotts.
3.
Peranan
Pemerintah, dalam perundingan biasanya lebih menyukai intervensi dari
pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka, dalam bentuk
perundang-undangan dan peraturan perburuhan.
4.
Kesediaan
organisasi, kesediaan organisasi untuk berunding secara terbuka ditentukan oleh
kemampuan atau kekuatan organisasi, filsafat kepemimpinan, gaya manajerial dan
penggunaan alat-alat pemaksa, seperti pemecatan, skorsing, demosi dan
sebagainya.
Proses perundingan
kolektif mempunyai tiga tahapan, tahap pertama tahap persiapan negosiasi
sebagai tahap paling kritis. Tahap kedua, perundingan yang sangat tergantung
pada kesiapan kedua belah pihak. Tahap ketiga, tahap administrasi perjanjian
(kontrak) sebagai follow-up kegiatan-kegiatan negosiasi.
Perundingan merupakan langkah untuk menyusun suatu
perjanjian kerja (kontrak) atau disebut juga labor agreement, mengenai
uraian berbagai hak, kewajiban dan tanggungjawab manajemen dan serikat kerja
(individu pegawai). Tahap persiapan negosiasi mencakup kegiatan memonitor
lingkungan, menyusun rencana perundingan, memilih negosiator (tim perunding),
mendapat persetujuan top manajemen. Tahap perundingan, sebgai tahap tatap muka
antara pihak manajemen dengan serikat kerja, dalam negosiasi biasanya mencakup
persoalan: pengupahan, jam kerja dan kondisi kerja. Sedang tahap administrasi
kontrak, setalah perjanjian diterima kedua belah pihak, isi perjanjian
disampaikan melalui program-program pelatihan, dan juga menyusun perjanjian
kerja (kontrak) untuk menjamin bahwa baik manajemen dan pegawai (serikat kerja)
mentaati segala ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja.
Mempertemukan
Berbagai kepentingan Hubungan Industrial
Hubungan industrial adalah
hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses
produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan yang meliputi pengusaha,
pekerja, pemerintah dan masyarakat (customer, supplier, lingkungan). Hubungan
industrial tersebut harus dicipatkan sedemikian rupa agar aman, harmonis,
serasi dan sejalan, agar perusahaan dapat terus meningkatkan produktivitasnya dan
kesejahteraan semua pihak yang terkait atau berkepentingan terhadap perusahaan
tersebut.
Banyak manfaat yang dapat
diambil dari hubungan industrial, bagi pengusaha untuk perusahaannya; untuk menjaga/mengamankan
assetnya, mengembangkan modal/asset untuk memberi nilai tambah, meningkatkan
penghasilkan pengusaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja, aktualiasasi diri
sebagai manajemen/entrepreneurs yang sukses. Bagi pekerjaan terhadap
perusahaan; memberi kesempatan kerja, sumber penghasilkan, sarana melatih diri,
memperkaya pengalaman, meningkatkan keahlian/ketrampilan kerja, mengembangkan
karir, aktualisasi keberhasilan mencapai puncak karir. Bagi kepentingan masyarakat
pemerintah terhadap perusahaan; sebagai sumber kesempatan kerja/mengatasi
pengangguran, sumber penghasilan banyak orang (supplier, distributor, retailer
dan pemilik sumber daya), sumber pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional, sumber
pajak, sumber devisi, sumber penyediaan barang dan jasa kebutuhan masyarakat.
Sistem hubungan industrial
di Indonesia, khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan sedang dalam proses mencari
arah, yaitu sistem yang terpusat ditangani oleh pemerintah pusat atau sistem
yang lebih independen yang diserahkan kepada lembaga independen, dan atau desentralisasi
dimana perwakilan perusahaan dan perwakilan pekerja berunding bersama mengenai
persyaratan dan kondisi pekerjaan di tingkat perusahaan. Tapi perlu diingat
dalam prakteknya hubungan industrial di Indonesai masih sangat dipengaruhi oleh
pemerintah, politik, dan kepentingan tertentu, dan masa transisi dari regim
yang otoriter menjadi masyarakat yang lebih demokratis.
Gerbang demokrasi yang
didengungkan sejak awal reformasi, mengantarkan para pekerja selalu
menyampaikan berbagai tuntutan, mereka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan,
seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat dipandang
sebagai tuntutan yang dapat difahami. Namun, dalam hal ini, kebijakan dan
peraturan perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi
pekerja/buruh juga ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah
aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh.
Disini dituntut peranan salah
satu sarana hubungan industrial yang berbentuk “lembaga kerjasama (LK) Bipartit
dan lembaga kerjasama (LK) Tripartit”, untuk melakukan negosiasi dan
perundingan kolektif, untuk mencari win-win situasi/solution, terbuka,
pihak-pihak yang melakukan negosiasi benar-benar memahami permasalahan dan
tujuan negosiasi, dan fokus pada penyajian situasi dan kebutuhan, bukan
berpihak pada kepentingan golongan, politik atau yang lainnya.
Negosiasi dalam perundingan
kolektif di Indonesia belum meletakkan persoalan pada porsi yang sesungguhnya, sehingga
win-win solution dan keterbukaan sulit di jumpai, tetapi sebaliknya dalam
negosiasi banyak dijumpai stigma bahwa, selama dalam negosiasi menghasilkan
pemutusan hubungan kerja, pengusaha selalu ditempatkan dalam posisi yang kurang
baik. Sering dikatakan bahwa perusahaan berlaku sewenang-wenang dan tidak
manusiawi. Sebaliknya pekerja selalu diposisikan sebagai korban, dan masih
banyak lainnya.
Stigma negatif yang ada
haruslah diperbaiki dengan sama-sama mennyadari persoalan yang sesungguhnya,
sehingga apa yang menjadi stigma negatif seperti terjadinya pemutusan hubungan
kerja, maka kita semua (termasuk pekerja) harus berusaha kuat agar jangan
sampai perusahaan merugi dan akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerjanya. Dengan kata lain sebenarnya pekerja juga mampu menciptakan
kondisi agar perusahaan tidak mem-PHKnya. Jadi ada hubungan timbal balik antara
pengusaha dan pekerja dalam suatu keberlangsungan proses produksi, pada tahap
yang semacam inilah pentingnya hubungan industrial.
Dalam Hubungan industrial
atau industrial relation, semua pihak
yang terkait harus memahami posisi dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pihak-pihak tersebut antara lain adalah pihak yang langsung terkait dengan
proses produksi atau pohak yang paling berkepentingan yakni antara pengusaha
dengan pekerja. Selain itu ada masyararakat yang secara tidak langsung memiliki
kepentingan dengan dunia usaha baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu
berupa barang dan jasa untuk kebutuhan perusahaan, atau sebagai konsumen atau
pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pihak ketiga adalah pemerintah yang
berkepentingan atas pertumbuhan perekonomian secara umum dan dunia usaha khususnya.
Kepetingan pemerintah ini antara lain adalah perusahaan sebagai salah satu
sumber penerimaan pajak. Karena itu hubungan industrial secara luas dipahami
sebagai hubungan antara semua pihak yang berkepentingan tersebut. Namun secara
sempit hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara pengusaha dengan
pekerja management-employees relationship.
Hubungan industrial harus
dipelihara dan dikembangkan dalam rangka menjamin kepentingan semua pihak yang
terkait, dengan tujuan pemeliharaan dan pengembangan hubungan tersebut, untuk
memberikan pembinaan guna menciptakan hubungan yang nyaman, aman dan harmonis
antara pihak-pihak tersebut sehingga dapat meningkatkan produktifitas usaha,
dan harus dipahami bahwa manajemen hubungan industrial merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, dan pertumbuhan
ekonomi.
Kesimpulan
dan Saran
Hubungan industrial
merupakan hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas
proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang paling
berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung
sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja. Disamping itu
masyarakat juga mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi
yaitu barang dan jasa kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen
atau pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara
lain sebagai sumber penerimaan pajak.
Dalam pelaksanaan hubungan
industrial diperlukan berbagai sarana penunjang di semua level hubungan
industri; level internasional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
tingkat perusahaan. Sarana tersebut berupa NLRB/UU Pemerintah, organisasi
pengusaha, serikat pekerja, perjanjian kerja bersama (PKB), Bipartit, dan
Tripartit.
Persoalan yang muncul dalam
hubungan industrial harus di negosiasikan, sehingga terjadi win-win solution,
keterbukaan, dan kesepemahaman semua yang terkait, sehingga dalam perundingan kolektif benar menjadi hubungan yang
berkelanjutan antara majikan dan organisasi buruh tentang persyaratan kerja, proses yang berkesinambungan ini,
dimulai dengan negosiasi kontrak kerja dan ketentuan administrasinya.
Karena itu hubungan industrial harus dipelihara dan dikembangkan
dalam rangka menjamin kepentingan semua pihak yang terkait, untuk meningkatkan
produktifitas usaha, sehingga terwujud kesejahteraan, ketentraman, dan
pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya, untuk menjadi
saran hubungan industrial di Indonesia, perlu adanya lembaga independen seperti
NLRB guna membangun independensi dalam perundingan kolektif, terlepas dari
berbagai pihak yang memiliki kepantingan, tidak diskriminatif, tidak berpihak
pada kepentingan tertentu, baik itu kepentingan golongan, politik atau yang
lainnya.
wufff...lebar nian ya makna negosiasi...tks eniwey buat share nya yang informatif....
BalasHapussekedar nambahin, buat negosiasi kontrak, tips ini mungkin berguna jg:
http://www.legalakses.com/tips-negosiasi-kontrak-membuat-kesepakatan-bisnis/