Akaah dan Lund mengatakan Nilai harus
dibedakan dari konsep-konsep yang lain seperti, pendapat dan sikap. Nilai lebih
umum dan kurang terikat secara spesifik untuk setiap objek yang bertentangan dengan
banyak pendapat dan sikap, karena itu nilai bisa mendasari berbagai pendapat
dan sikap. Nilai adalah standar yang membantu seorang individu merasionalisasi
sikap dan tindakan secara pribadi dan sosial yang dapat diterima.[1] Karena nilai-nilai
memiliki faktor sosial, memungkinkan seorang individu mengalami rasa bersalah
ketika mereka berperilaku tidak sesuai dengan harapan sosial yang mereka anut.
Nilai dapat digunakan untuk merasionalisasi perasaan pribadi, moralitas dan
kompetensi, untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri, meskipun
nilai-nilai ini dipertahankan dengan perilaku yang tidak pantas.
Konsep nilai banyak digunakan dalam
penelitian guna membandingkan perilaku lintas budaya. Rokeach mengatakan bahwa
nilai adalah sesuatu yang dianggap lebih secara pribadi atau sosial.[2] Kluckhohn
dan Strodtbeck menefinisikan orientasi nilai sebagai suatu yang amat kompleks
tapi dengan pola dan prinsip yang jelas (peringkat memerintahkan), nilai dihasilkan
dari interaksi transaksional dari tiga unsur analitis, yaitu proses evaluatif
kognitif, afektif, dan unsur-unsur direktif yang memberi perintah dan arah yang
terus mengalir dari tindakan dan pikiran manusia yang berhubungan dengan solusi
dari masalah manusia pada umumnya.[3]
Karena kompleknya pengertian nilai, maka
beberapa ahlipun memberikan pengertian nilai secara beragam. Nilai adalah bagian dari budaya yang
mengarahkan prilaku anggota organisasi dan lama kelamaan menjadi sesuatu yang
tak disadari (asumsi dasar) namun mengarahkan prilaku mereka.[4] Nilai menurut Gibson adalah ide-ide masyarakat tentang apa yang benar
dan salah, seperti keyakinan
bahwa menyakiti seseorang secara fisik tidak bermoral.[5] Maierhofer, Kabanoff, and Griffin
mengatakan nilai sebagai konsepsi baik dan buruk yang cenderung membawa
banyak emosi. Melekat juga ide-ide dan pola-pola
perilaku tertentu, dan menimbulkan perilaku yang
konsisten dengan juga nilai-nilai.[6] Nilai mencerminkan keyakinan-keyakinan dasar
bahwa bentuk khusus prilaku atau bentuk akhir keberadaan secara pribadi atau
sosial lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk prilaku atau bentuk akhir
keberadaan perlawanan atau kebalikan. Nilai
juga mengandung unsur pertimbangan yang mengemban gagasan-gagasan seorang
individu mengenai apa yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai cenderung
relatif stabil dan kokoh. Sebagian besar nilai yang kita pegang pada
tahun-tahun awal kehidupan kita dari orang tua, guru, teman dan lain-lain.[7]
Nilai-nilai itu sendiri bersifat tanpa wujud sebab itu dinyatakan dalam bentuk
semantik (kata-kata). Nilai pada umumnya mempengaruhi sikap dan prilaku. Dari
pernyataan diatas dapat difahami bahwa nilai adalah suatu bagian dari budaya
yang mengarahkan pada prilaku seseorang dalam anggota organisasi (masyarakat)
bahwa bentuk khusus prilaku atau bentuk akhir keberadaan secara pribadi atau
sosial. Dengan demikian setiap orang akan memiliki nilai yang
berbeda dan dapat melihat nilai dari persepektif yang berbeda pula, sehingga
untuk membangun konsensus bersama mungkin sulit terwujud.
[1] Jan Pfister, Managing Organizational Culture for Effective
Internal Control, New York, Physica-Verlag A Springer
Company, 2009, h. 153
[2]
Deogratias
Harorimana, Cultural implications of
knowledge sharing, management and transfer, United States of America, Information Science
Reference (IGI Global),
2010, h. 28
[3] Ibid
[4] Budiharjo
andreas, Organisasi Menuju Pencapaian Kinerja Optimum, Jakarta, Prasetiya Mulya Publishing, 2011, h. 176
[5] James L. Gibson et al., Organizations:
Behavior, Structure,
processes. New York, McGraw-Hill, 2009, h. 33.
[6] John B. Miner,Organizational Behavior I. Essential
theories of motivation and leadership, New York, M.E. Sharpe, Inc, h. 26.
[7]Robins Stephen
P, Prilaku Organisasi, h. 48
Komentar
Posting Komentar