Kesuksesan
sebuah organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi sebagai sistem nilai
bersama dalam bentuk karakteristik organisasi, sistem nilai bersama yang dianut
membedakan satu oraganisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi
terbangun melalui tahap, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan
berperilakunya kepada karyawan. pendiri sendiri bertindak sebagai model peran
yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian,
menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Budaya organisasi
yang baik hendaknya adaptif dan memiliki etika tinggi.
Kata Kunci: Budaya,
Karakteristik, Organisasi.
A.
Pendahuluan
Organisasi pada umumnya
berbeda antara satu dengan yang leinnya, perbedaan oleh kebanyakan orang awam
tampak dari bendera, simbol, asas, ruang gerak (politik, sosial, sosial dan
kemasyarakatan). Tetapi sesungguhnya ada hal-hal prinsip yang membedakan antara
oraganisasi yang satu dengan yang lainnya, yakni budaya organisasi. Budaya
organisasi ini yang membedakan antara satu organisasi dengan yang lainnya,
karena budaya organisasi merupakan sebuah tatanan sistem bersama yang dianut
oleh seluruh anggota organisasi, sistem makna bersama merupakan sekumpulan
karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh oraganisasi dan karakter organisasi
yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya.
Budaya organisasi mengacu
kesistem makna bersama yang di anut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini bila diamati
dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai
oleh organisasi itu (Robbins, 2006:721).
Budaya organisasi sebagai salah satu
metafora yang digunakan untuk menganalisis sebuah organisasi. dalam metafora ini, esensi
organisasi berkisar pada pengembangan makna bersama,
keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi yang membimbing dan diperkuat oleh perilaku organisasi (Jaffee,
2001:165).
Ketika orang-orang
bergabung dengan sebuah organisasi, mereka membawa nilai-nilai dan keyakinan
mereka. Nilai-nilai dan keyakinan yang mereka bawa sebagai modal yang cukup
untuk membantu individu sukses dalam organisasi (Luthans, 2011:71). Karena itu, harapan yang dibangun dari sini
adalah bahwa individu-individu
yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak
sama dalam organisasi akan memahami budaya organisasi dengan pengertian yang
serupa.
Budaya
organisasi sebagai nilai bersama, menurut Robbins, (2006:721) memiliki karakteristik budaya
sebagai berikut :
1. Inovasi dan keberanian mengambil
resiko yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovtif
dan berani mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail yaitu
sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian
pada hal-hal detil.
3. Berorientasi pada hasil yaitu sejauh
mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang
digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Berorientasi kepada manusia yaitu
sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil
tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
5. Berorientasi pada tim yaitu sejauh
mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang individu-individu.
6. Agresivitas yaitu sejauh mana orang
bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
7. Stabilitas yaitu sejauh mana
kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam
perbandingannya dengan pertumbuhan.
Sedangkan
Schneider dalam (Pearse dan Bear, 1998) mengklasifikasikan budaya organisasi ke
dalam empat tipe dasar:
1. Control culture. Budaya impersonal nyata yang
memberikan perhatian pada kekonkretan, pembuatan keputusan yang melekat secara
analitis, orientasi masalah dan preskriptif.
2. Collaborative culture. Berdasarkan pada kenyataan individu
terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan secara people-driven, organic dan
informal. Interaksi dan keterlibatan menjadi elemen pokok.
3. Competence culture. Budaya personal yang dilandaskan
pada kompetensi diri, yang memberikan perhatian pada potensi, alternatif,
pilihan-pilihan kreatif dan konsep-konsep teoretis. Orang-orang yang termasuk
dalam tipe budaya ini memiliki standar untuk meraih sukses yang lebih tinggi.
4. Cultivation
culture. Budaya yang berlandaskan pada kemungkinan seorang
individu mampu memperoleh inspirasi.
Dibangunnya budaya
organisasi dari kepercayaan yang dipegang teguh secara mendalam, dan sebagai
sistem nilai bersama organisasi akan mempengaruhi cara kerja yang dilakukan dan
cara pegawai berperilaku. Cara kerja dan perilaku pegawai yang di anut bersama,
sebagai manifestasi dari sikap para pegawai akan dengan jelas berpengaruh
terhadap cara mereka melakukan pekerjaan, serta menjadi ciri yang membedakan
suatu organisasi.
B.
Budaya
dan Karakter Organisasi
Budaya organisasi adalah untuk menyamakannya dengan kepribadian dan karakter dalam individu.
Ketika kita tumbuh dewasa, kita belajar cara berperilaku
tertentu, keyakinan tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang memungkinkan kita untuk beradaptasi dengan
realitas eksternal memberi kita beberapa rasa identitas dan integrasi. Budaya kelompok
terdiri dari akumulasi pembelajaran, dan jika Kelompok membangun sejarah, keyakinan,
nilai-nilai, dan norma-norma dengan yang telah
beroperasi menjadi diterima begitu saja dan dapat dianggap
sebagai asumsi bersama yang tertanam dalam diri dan
tidak dapat ditawar-tawar (Rothwelle & Sullivan, 2005:365-366).
Menurut Robbins (2006:721)
Budaya organisasi mengacu kesistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain, sistem
makna bersama ini bila diamati secara seksama, merupakan karakteristik utama
yang dihargai oleh organisasi itu. Gibson (1997:372) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada
disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat mendorong atau menurunkan
efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang
dianut.
Edgar Schein, mengatakan studi
budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar menciptakan, ditemukan, atau
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena belajar untuk mengatasi
masalah-masalahnya, adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah
bekerja cukup baik untuk dianggap berharga dan untuk diajarkan kepada anggota
baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasa dalam
kaitannya dengan masalah-masalah organisasi. Joanne Martin menekankan perspektif yang berbeda dari budaya
di organisasi, ia mengatakan sebagai
individu bersentuhan dengan organisasi,
mereka datang ke dalam kontak dengan norma-norma berpakaian,
cerita-cerita tentang apa yang terjadi,
aturan formal organisasi dan prosedur, kode formal
perilaku, ritual, tugas, membayar sistem,
jargon, dan lelucon
yang hanya dimengerti oleh orang dalam,
dan sebagainya, elemen-elemen
ini sebagai manifestasi budaya
organisasi. (Luthans, 2011:71).
Pendapat
tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Daft (2010:99),
bahwa budaya sebagai pola dari nilai-nilai dan asumsi yang di yakini mengenai
bagaimana bekerja dalam sebuah organisasi, pola ini dipelajari oleh semua
anggota organisasi ketika mereka menghadapi permasalahan-permasalahan eksternal
dan internal serta diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, berfikir, dan merasakan. Budaya organisasi sebagai suatu sistem
makna bersama, memiliki nilai-nilai yang diyakini dalam sebuah organisasi,
sebagai pola untuk dipelajari guna menghadapi masalah-masalah, sehingga dapat
beradaptasi dan membedakan dengan organisasi lain.
Budaya
organisasi bila diidentifikasi dapat dibedakan kedalam tiga level budaya
organisasi, yaitu:
pertama artifacts,
berupa aspek tangible dan yang dapat diamati dalam organisasi,
contoh dokumen tertulis, tata letak fisik, pakaian,
ritual perilaku. kedua
espoused values, yakni keyakinan tentang apa yang harus terjadi dalam organisasi,
contohnya tentang filosofi, visi dan misi organisasi. ketiga basic assumptions, asumsi dasar
ini digunakan untuk memberikan cara
melakukan dan berpikir dan mencapai tujuan, contoh prosedur standar operasi, metode efisiensi (Jaffe, 2001:166).
Ketika
berbicara budaya sebagai sistem makna bersama, diharapkan individu-individu
yang beragam latar belakang dapat memahami budaya organisasi dengan pemahaman
yang sama. Budaya organisasi memiliki budaya yang dominan, sub-budaya, dan
nilai inti (Robbins,2006:723). Budaya dominan
mengungkapkan nilai-nilai inti yang di anut bersama oleh mayoritas anggota
organisasi, sub-budaya sebagai budaya kecil di dalam organisasi yang
didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis, sedangkan
nilai inti dimaksudkan sebagai nilai pokok atau dominan yang diterima oleh
seluruh orang dalam organisasi.
Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya.
Sebuah budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh
mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut
merujuk pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya
yang memberikan kepribadian tersendiri
dalam organisasi. Subbudaya cenderung berkembang di dalam
organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi,
atau pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup
nilai-nilai inti dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Nilai
inti yang dianut secara dominan, nilai-nilai yang kongruen dengan asumsi yang mendasarinya adalah produk organik dari
apa yang mereka alami dan belajar dari waktu ke waktu. Kelompok belajar, menurut
Schein, dimulai dengan kesimpulan
seseorang tentang apa yang seharusnya atau seharusnya dilakukan dalam situasi tertentu. Jika kesimpulan ini membantu organisasi mencapai solusi yang memuaskan untuk masalah
yang kemudian mereka
menjadi nilai-nilai bersama dan,
dalam waktu, berbagi asumsi dasar.
Meskipun Schein tidak menjelaskan
secara detail tentang nilai-nilai bersama, secara tersirat ia membedakan
menjadi dua jenis; pertama, mereka yang telah mebuktikan nilai mereka,
peningkatan yang diberikan kepada asumsi dasar, dan terus melayani sebagai
manifestasi tentang asumsi dasar, dan mereka yang belum membuktikan nilai
mereka atau mungkin tidak memberikan meningkat
menjadi asumsi baru di masa depan. Kedua, orang-orang yang menganut,
tetapi keluar dari langkah dengan asumsi dasar organisasi. Untuk menetapkan
besarnya nilai yang benar-benar membantu mengintegrasikan kelompok harus
menyelidiki asumsi dasar kebudayaan.
Asumsi-asumsi
dasar menginformasikan anggota, pada tingkat sebagian besar tidak sadar,
bagaimana berpikir dan merasa tentang hal-hal dan tindakan apa yang harus dilakukan dalam berbagai situasi. Sedangkan nilai-nilai bersama sebagian besar sadar dan diperdebatkan terus, asumsi
dasar begitu diambil begitu saja bahwa mereka berhenti
dipertanyakan dan diperdebatkan.
Justru karena mereka diambil begitu saja bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk menciptakan konsistensi perilaku
di antara anggota kelompok. Dasar asumsi
biasanya berhubungan dengan misi dan strategi, tujuan operasional, atau berarti untuk mencapai tujuan dan mengukur keberhasilan.
Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik
penting, karakteristik organisasi menurut Luthans (2011:72) adalah sebagai berikut:
1. Observed behavioral regularities, karakter
ini terlihat ketika peserta organisasi berinteraksi dengan satu sama lain,
mereka menggunakan bahasa yang sama, terminologi, dan ritual-ritual yang
berkaitan dengan rasa hormat dan tingkah laku.
2. Norms, standar
perilaku yang ada, termasuk
pedoman tentang berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan, yang di
banyak organisasi sampai kepada 'tidak melakukan terlalu banyak, jangan
melakukan terlalu sedikit.
3. Dominant values, merupakan nilai-nilai utama organisasi yang menganjurkan dan mengharapkan para peserta untuk berbagi. Contoh khas adalah produk
berkualitas tinggi, absensi yang
rendah, dan efisiensi yang tinggi.
4. Philosophy, adalah kebijakan yang ditetapkan
dengan keyakinan organisasi tentang bagaimana karyawan dan pelanggan
harus diperlakukan.
5. Rules, ada
panduan yang ketat berkaitan
dengan bergaul dalam organisasi.
pendatang baru harus belajar agar mereka terhubung untuk
diterima sebagai anggota kelompok.
6. Organizational climate, berkaitan
dengan perasaan keseluruhan yang berhubungan dengan tataruang, cara berinteraksi, dan
cara anggota organisasi berperilaku
dengan pelanggan atau pihak luar lainnya.
Karaketristik
seperti yang telah dikatakan Robbins (2006:721)
yang berupa; inovasi dan pengambilan risiko, perhatian terhadap detail,
orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan.
Pada dasarnya karakteristik sebagai gambaran sebuah budaya organisasi, menjadi
dasar dalam membangun kesepemahaman anggota organisasi dalam menyelesaikan
masalah dan kesepemahaman anggota organisasi berperilaku.
C.
Membangun
Budaya Organisasi
Menciptakan budaya seperti
pada proses tradisional, pendiri organisasi memiliki
pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi
tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan
pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses menciptakan budaya terjadi
dalam tiga cara (Robbins, 2006:729). Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua,
pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Ketiga, perilaku pendiri sendiri
bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi
diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Ketika suatu budaya terbentuk,
kegiatan dalam organisasi bertindak mempertahankan dengan memberikan kepada
karyawan seperangkan pengalaman yang serupa. Dalam mempertahankan suatu budaya
terdapat tiga kekuatan penting yakni; praktik seleksi, tindakan manajemen
puncak, dan metode sosialisasi (Robbins, 2006:730). Proses seleksi sebagai cara untuk
mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses
dalam organisasi. Tindakan manajemen puncak ditujukan untuk mengatakan dan
mengarahkan bagaimana seharusnya berperilaku, menejemen puncak menegakkan
norma-norma yang mengalir kebawah sepenjang organisasi. Sedangkan sosialisasi
merupakan proses adaptasi karyawan dengan budaya organisasi.
Proses sosialisasi berjalan seirama
dengan jenjang karir pegawai, proses ini melalui tahap-tahap: (1) sosialisasi antisipasi, (2) akomodasi, dan (3)
peran manajemen (Rivai dan Mulyadi, 2009:261).
Sosialisasi antisipasi bertujuan memberikan informasi tentang organisasi yang
baru dan atau pekerjaan baru. Akomodasi merupakan langkah kedua setelah
individu menjadi anggota organisasi, dimana individu melihat organisasi dan
pekerjaan untuk apa mereka bekerja, dan peran manajemen menerima sesuatu lebih
luas dari pada satuan permasalahan dan isu.
Sedangkan Robbins (2006:732) mengatakan proses sosialisasi melalui tiga tahap.
Pertama, tahap prakedatangan yang mencakup semua pembelajaran yang terjadi
sebelum anggota baru bergabung dengan organisasi. Kedua, tahap keterlibatan (encounter) dimana karyawan baru melihat
seperti apakah organisasi itu sebenarnya dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan
dan kenyataan dapat berbeda. Ketiga, tahap metamorfosis yakni dimana karyawan
baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja dan
organisasi.
Kedua pendapat tersebut diatas pada
prinsipnya berbicara bagaimana individu sebelum masuk ke dalam organisasi,
mengenal organisasi baru, dan adaptasi terhadap organisasi baru. Proses
membangun budaya secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa budaya organisasi diturunkan dari falsafah pendirinya,
selanjutnya memengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan,
dengan tindakan manajemen puncak dalam menentukan iklim umum perilaku yang
dapat diterima dan tidak diterima, kemudian bagaimana cara mensosialisasikan
kepada individu (karyawan) yang tergantung pada tingkat sukses yang dicapai
dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam
proses seleksi yang melibatkan manajemen puncak dan sosialisasi.
Terbangunnya suatu budaya
diperlukan tindaklanjut dari budaya tersebut kepada karyawan, pembelajaran
budaya kepada karyawan dapat mengambil bentuk; cerita, ritual, lambang-lambang
yang bersifat kebendaan, dan bahasa (Robbins, 2006:736), sedangkan Daft (2010:100) mengatakan nilai-nilai
dari sebuah budaya organisasi dapat dipahami melalui menifestasi simbol,
cerita, panutan, selogan, dan seremoni.
Pendekatan budaya
organisasi mewakili nilai, norma, pemahaman, dan asumsi dasar yang dipegang
para karyawan dengan nilai-nilai yang dicirikan oleh simbol, cerita, ritual,
bahasa, panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya
organisasi. Budaya yang terbentuk harus adaptif, budaya adaptif memiliki
nilai-nilai dan perilaku yang berbeda, dimana manajer peduli akan pelanggan dan
orang-orang internal serta proses kearah perubahan yang bermanfaat (Daft, 2010:103). Karena itu budaya
yang dibangun dengan baik saja tidak cukup, karena budaya yang tidak sehat
mungkin akan mendorong organisasi kearah yang salah, sedangkan budaya yang
sehat membantu perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungan usaha. Budaya
yang adaptif memungkinkan untuk membentuk standar dan etika tinggi, toleran
terhadap risiko tinggi, rendah, dan sedang dalam hal keagresifan serta fokus
pada sarana dan hasil.
D.
Kesimpulan
Budaya organisasi merupakan
sistem nilai bersama, yang dipercaya dan dipegang teguh secara mendalam, akan mempengaruhi
cara kerja yang dilakukan dan cara pegawai berperilaku. Cara kerja dan perilaku
pegawai yang di anut secara bersama, merupakan manifestasi dari sikap para
pegawai, dan akan berpengaruh terhadap cara mereka melakukan pekerjaan, serta
menjadi ciri yang membedakan suatu organisasi terhadap organisasi lain.
Sistem nilai bersama
merupakan Karaketristik yang berupa; inovasi dan pengambilan
risiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi
tim, keagresifan, dan kemantapan. Karakteristik sebagai gambaran sebuah budaya
organisasi, menjadi dasar dalam membangun kesepemahaman anggota organisasi
dalam menyelesaikan masalah dan cara berperilaku anggota dalam organisasi.
Budaya organisasi
diturunkan dari falsafah pendirinya, selanjutnya memengaruhi kriteria yang
digunakan dalam mempekerjakan karyawan, dengan tindakan manajemen puncak dalam
menentukan iklim umum perilaku yang dapat diterima (positif) dan tidak diterima
(negatif), kemudian disosialisasikan kepada individu (karyawan), dengan cara
mencocokkan nilai-nilai yang dibawa karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi
sejak proses seleksi yang melibatkan manajemen puncak dan sosialisasi.
Agar ninali-nilai budaya
tertanam dilakukan melalui penanaman simbol-simbol, cerita, ritual, bahasa,
panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya organisasi.
Budaya yang terbentuk hendaknya adaptif dan beretika tinggi.
Daftar
Pustaka
David
Jaffee (2001), Organization Theory,
McGraw Hill Higher Education.
Edgar
H. Schein (2004), Organizational culture
and leadership, Jossey-Bass A Wiley Imprint, San Francisco.
Fres
Luthans (2011), Organizational Behavior,
McGraw Hill New York
Richad
L. Daff (2010), New Era Of Management, Cangage Learning, Americas.
Stephen
P. Robbins (2006), Organizational
Behavior, Prentice Hall, New Jersey.
Veithzal
Rivai dan Deddy Mulyadi (2009), Kepemimpinan
dan Perilaku Organisasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar