Langsung ke konten utama

BUDAYA SEBAGAI KARAKTERISTIK KUNCI ORGANISASI



Kesuksesan sebuah organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi sebagai sistem nilai bersama dalam bentuk karakteristik organisasi, sistem nilai bersama yang dianut membedakan satu oraganisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi terbangun melalui tahap, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka, pendiri melakukan indoktrinasi dan  menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Budaya organisasi yang baik hendaknya adaptif dan memiliki etika tinggi.
Kata Kunci: Budaya, Karakteristik, Organisasi.

A.    Pendahuluan
Organisasi pada umumnya berbeda antara satu dengan yang leinnya, perbedaan oleh kebanyakan orang awam tampak dari bendera, simbol, asas, ruang gerak (politik, sosial, sosial dan kemasyarakatan). Tetapi sesungguhnya ada hal-hal prinsip yang membedakan antara oraganisasi yang satu dengan yang lainnya, yakni budaya organisasi. Budaya organisasi ini yang membedakan antara satu organisasi dengan yang lainnya, karena budaya organisasi merupakan sebuah tatanan sistem bersama yang dianut oleh seluruh anggota organisasi, sistem makna bersama merupakan sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh oraganisasi dan karakter organisasi yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya.
Budaya organisasi mengacu kesistem makna bersama yang di anut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi yang lain. Sistem makna bersama ini bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu (Robbins, 2006:721). Budaya organisasi sebagai salah satu metafora yang digunakan untuk menganalisis sebuah organisasi. dalam metafora ini, esensi organisasi berkisar pada pengembangan makna bersama, keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi yang membimbing dan diperkuat oleh perilaku organisasi (Jaffee, 2001:165).
Ketika orang-orang bergabung dengan sebuah organisasi, mereka membawa nilai-nilai dan keyakinan mereka. Nilai-nilai dan keyakinan yang mereka bawa sebagai modal yang cukup untuk membantu individu sukses dalam organisasi (Luthans, 2011:71). Karena itu, harapan yang dibangun dari sini adalah bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami budaya organisasi dengan pengertian yang serupa.
Budaya organisasi sebagai nilai bersama, menurut Robbins, (2006:721) memiliki karakteristik budaya sebagai berikut :
1.  Inovasi dan keberanian mengambil resiko yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovtif dan berani mengambil resiko.
2.  Perhatian terhadap detail yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detil.
3.  Berorientasi pada hasil yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.  Berorientasi kepada manusia yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
5.  Berorientasi pada tim yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang individu-individu.
6.  Agresivitas yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
7.  Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Sedangkan Schneider dalam (Pearse dan Bear, 1998) mengklasifikasikan budaya organisasi ke dalam empat tipe dasar:
1.  Control culture. Budaya impersonal nyata yang memberikan perhatian pada kekonkretan, pembuatan keputusan yang melekat secara analitis, orientasi masalah dan preskriptif.
2.  Collaborative culture. Berdasarkan pada kenyataan individu terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan secara people-driven, organic dan informal. Interaksi dan keterlibatan menjadi elemen pokok.
3.  Competence culture. Budaya personal yang dilandaskan pada kompetensi diri, yang memberikan perhatian pada potensi, alternatif, pilihan-pilihan kreatif dan konsep-konsep teoretis. Orang-orang yang termasuk dalam tipe budaya ini memiliki standar untuk meraih sukses yang lebih tinggi.
4.  Cultivation culture. Budaya yang berlandaskan pada kemungkinan seorang individu mampu memperoleh inspirasi.
Dibangunnya budaya organisasi dari kepercayaan yang dipegang teguh secara mendalam, dan sebagai sistem nilai bersama organisasi akan mempengaruhi cara kerja yang dilakukan dan cara pegawai berperilaku. Cara kerja dan perilaku pegawai yang di anut bersama, sebagai manifestasi dari sikap para pegawai akan dengan jelas berpengaruh terhadap cara mereka melakukan pekerjaan, serta menjadi ciri yang membedakan suatu organisasi.
B.    Budaya dan Karakter Organisasi
Budaya organisasi adalah untuk menyamakannya dengan kepribadian dan karakter dalam individu. Ketika kita tumbuh dewasa, kita belajar cara berperilaku tertentu, keyakinan tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang memungkinkan kita untuk beradaptasi dengan realitas eksternal memberi kita beberapa rasa identitas dan integrasi. Budaya kelompok terdiri dari akumulasi pembelajaran, dan jika Kelompok membangun sejarah, keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma dengan yang telah beroperasi menjadi diterima begitu saja dan dapat dianggap sebagai asumsi bersama yang tertanam dalam diri dan tidak dapat ditawar-tawar (Rothwelle & Sullivan, 2005:365-366).
Menurut Robbins  (2006:721) Budaya organisasi mengacu kesistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain, sistem makna bersama ini bila diamati secara seksama, merupakan karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Gibson (1997:372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang dianut.
Edgar Schein, mengatakan studi budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar menciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena belajar untuk mengatasi masalah-masalahnya, adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap berharga dan untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah-masalah organisasi. Joanne Martin menekankan perspektif yang berbeda dari budaya di organisasi, ia mengatakan sebagai individu bersentuhan dengan organisasi, mereka datang ke dalam kontak dengan norma-norma berpakaian, cerita-cerita tentang apa yang terjadi, aturan formal organisasi dan prosedur, kode formal perilaku, ritual, tugas, membayar sistem, jargon, dan lelucon yang hanya dimengerti oleh orang dalam, dan sebagainya, elemen-elemen ini sebagai manifestasi budaya organisasi. (Luthans, 2011:71).
Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Daft (2010:99), bahwa budaya sebagai pola dari nilai-nilai dan asumsi yang di yakini mengenai bagaimana bekerja dalam sebuah organisasi, pola ini dipelajari oleh semua anggota organisasi ketika mereka menghadapi permasalahan-permasalahan eksternal dan internal serta diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berfikir, dan merasakan. Budaya organisasi sebagai suatu sistem makna bersama, memiliki nilai-nilai yang diyakini dalam sebuah organisasi, sebagai pola untuk dipelajari guna menghadapi masalah-masalah, sehingga dapat beradaptasi dan membedakan dengan organisasi lain.
Budaya organisasi bila diidentifikasi dapat dibedakan kedalam tiga level budaya organisasi, yaitu: pertama artifacts, berupa aspek tangible dan yang dapat diamati dalam organisasi, contoh dokumen tertulis, tata letak fisik, pakaian, ritual perilaku. kedua espoused values, yakni keyakinan tentang apa yang harus terjadi dalam organisasi, contohnya tentang filosofi, visi dan misi organisasi. ketiga basic assumptions, asumsi dasar ini digunakan untuk memberikan cara melakukan dan berpikir dan mencapai tujuan, contoh prosedur standar operasi, metode efisiensi (Jaffe, 2001:166).
Ketika berbicara budaya sebagai sistem makna bersama, diharapkan individu-individu yang beragam latar belakang dapat memahami budaya organisasi dengan pemahaman yang sama. Budaya organisasi memiliki budaya yang dominan, sub-budaya, dan nilai inti (Robbins,2006:723). Budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang di anut bersama oleh mayoritas anggota organisasi, sub-budaya sebagai budaya kecil di dalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis, sedangkan nilai inti dimaksudkan sebagai nilai pokok atau dominan yang diterima oleh seluruh orang dalam organisasi.
Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya. Sebuah budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut merujuk pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya yang memberikan kepribadian tersendiri dalam organisasi. Subbudaya cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup nilai-nilai inti dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Nilai inti yang dianut secara dominan, nilai-nilai yang kongruen dengan asumsi yang mendasarinya adalah produk organik dari apa yang mereka alami dan belajar dari waktu ke waktu. Kelompok belajar, menurut Schein, dimulai dengan kesimpulan seseorang tentang apa yang seharusnya atau seharusnya dilakukan dalam situasi tertentu. Jika kesimpulan ini membantu organisasi mencapai solusi yang memuaskan untuk masalah yang kemudian mereka menjadi nilai-nilai bersama dan, dalam waktu, berbagi asumsi dasar.
Meskipun Schein tidak menjelaskan secara detail tentang nilai-nilai bersama, secara tersirat ia membedakan menjadi dua jenis; pertama, mereka yang telah mebuktikan nilai mereka, peningkatan yang diberikan kepada asumsi dasar, dan terus melayani sebagai manifestasi tentang asumsi dasar, dan mereka yang belum membuktikan nilai mereka atau mungkin tidak memberikan meningkat  menjadi asumsi baru di masa depan. Kedua, orang-orang yang menganut, tetapi keluar dari langkah dengan asumsi dasar organisasi. Untuk menetapkan besarnya nilai yang benar-benar membantu mengintegrasikan kelompok harus menyelidiki asumsi dasar kebudayaan.
Asumsi-asumsi dasar menginformasikan anggota, pada tingkat sebagian besar tidak sadar, bagaimana berpikir dan merasa tentang hal-hal dan tindakan apa yang harus dilakukan dalam berbagai situasi. Sedangkan nilai-nilai bersama sebagian besar sadar dan diperdebatkan terus, asumsi dasar begitu diambil begitu saja bahwa mereka berhenti dipertanyakan dan diperdebatkan. Justru karena mereka diambil begitu saja bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan konsistensi perilaku di antara anggota kelompok. Dasar asumsi biasanya berhubungan dengan misi dan strategi, tujuan operasional, atau berarti untuk mencapai tujuan dan mengukur keberhasilan.
Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik penting, karakteristik organisasi menurut Luthans (2011:72) adalah sebagai berikut:
1.    Observed behavioral regularities, karakter ini terlihat ketika peserta organisasi berinteraksi dengan satu sama lain, mereka menggunakan bahasa yang sama, terminologi, dan ritual-ritual yang berkaitan dengan rasa hormat dan tingkah laku.
2.    Norms, standar perilaku yang ada, termasuk pedoman tentang berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan, yang di banyak organisasi sampai kepada 'tidak melakukan terlalu banyak, jangan melakukan terlalu sedikit.
3.    Dominant values, merupakan nilai-nilai utama organisasi yang menganjurkan dan mengharapkan para peserta untuk berbagi. Contoh khas adalah produk berkualitas tinggi, absensi yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.
4.    Philosophy, adalah kebijakan yang ditetapkan dengan keyakinan organisasi tentang bagaimana karyawan dan pelanggan harus diperlakukan.
5.    Rules, ada panduan yang ketat berkaitan dengan bergaul dalam organisasi. pendatang baru harus belajar agar mereka terhubung untuk diterima sebagai anggota kelompok.
6.    Organizational climate, berkaitan dengan perasaan keseluruhan yang berhubungan dengan tataruang, cara berinteraksi, dan cara anggota organisasi berperilaku dengan pelanggan atau pihak luar lainnya.
Karaketristik seperti yang telah dikatakan Robbins (2006:721) yang berupa; inovasi dan pengambilan risiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan. Pada dasarnya karakteristik sebagai gambaran sebuah budaya organisasi, menjadi dasar dalam membangun kesepemahaman anggota organisasi dalam menyelesaikan masalah dan kesepemahaman anggota organisasi berperilaku.
C.    Membangun Budaya Organisasi
Menciptakan budaya seperti pada proses tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses menciptakan budaya terjadi dalam tiga cara (Robbins, 2006:729). Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Ketiga, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Ketika suatu budaya terbentuk, kegiatan dalam organisasi bertindak mempertahankan dengan memberikan kepada karyawan seperangkan pengalaman yang serupa. Dalam mempertahankan suatu budaya terdapat tiga kekuatan penting yakni; praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi (Robbins, 2006:730). Proses seleksi sebagai cara untuk mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses dalam organisasi. Tindakan manajemen puncak ditujukan untuk mengatakan dan mengarahkan bagaimana seharusnya berperilaku, menejemen puncak menegakkan norma-norma yang mengalir kebawah sepenjang organisasi. Sedangkan sosialisasi merupakan proses adaptasi karyawan dengan budaya organisasi.
Proses sosialisasi berjalan seirama dengan jenjang karir pegawai, proses ini melalui tahap-tahap: (1) sosialisasi antisipasi, (2) akomodasi, dan (3) peran manajemen (Rivai dan Mulyadi, 2009:261). Sosialisasi antisipasi bertujuan memberikan informasi tentang organisasi yang baru dan atau pekerjaan baru. Akomodasi merupakan langkah kedua setelah individu menjadi anggota organisasi, dimana individu melihat organisasi dan pekerjaan untuk apa mereka bekerja, dan peran manajemen menerima sesuatu lebih luas dari pada satuan permasalahan dan isu.
Sedangkan Robbins (2006:732) mengatakan proses sosialisasi melalui tiga tahap. Pertama, tahap prakedatangan yang mencakup semua pembelajaran yang terjadi sebelum anggota baru bergabung dengan organisasi. Kedua, tahap keterlibatan (encounter) dimana karyawan baru melihat seperti apakah organisasi itu sebenarnya dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat berbeda. Ketiga, tahap metamorfosis yakni dimana karyawan baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja dan organisasi.
Kedua pendapat tersebut diatas pada prinsipnya berbicara bagaimana individu sebelum masuk ke dalam organisasi, mengenal organisasi baru, dan adaptasi terhadap organisasi baru. Proses membangun budaya secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya organisasi diturunkan dari falsafah pendirinya, selanjutnya memengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan, dengan tindakan manajemen puncak dalam menentukan iklim umum perilaku yang dapat diterima dan tidak diterima, kemudian bagaimana cara mensosialisasikan kepada individu (karyawan) yang tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi yang melibatkan manajemen puncak dan sosialisasi.
Terbangunnya suatu budaya diperlukan tindaklanjut dari budaya tersebut kepada karyawan, pembelajaran budaya kepada karyawan dapat mengambil bentuk; cerita, ritual, lambang-lambang yang bersifat kebendaan, dan bahasa (Robbins, 2006:736), sedangkan Daft (2010:100) mengatakan nilai-nilai dari sebuah budaya organisasi dapat dipahami melalui menifestasi simbol, cerita, panutan, selogan, dan seremoni.
Pendekatan budaya organisasi mewakili nilai, norma, pemahaman, dan asumsi dasar yang dipegang para karyawan dengan nilai-nilai yang dicirikan oleh simbol, cerita, ritual, bahasa, panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk harus adaptif, budaya adaptif memiliki nilai-nilai dan perilaku yang berbeda, dimana manajer peduli akan pelanggan dan orang-orang internal serta proses kearah perubahan yang bermanfaat (Daft, 2010:103). Karena itu budaya yang dibangun dengan baik saja tidak cukup, karena budaya yang tidak sehat mungkin akan mendorong organisasi kearah yang salah, sedangkan budaya yang sehat membantu perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungan usaha. Budaya yang adaptif memungkinkan untuk membentuk standar dan etika tinggi, toleran terhadap risiko tinggi, rendah, dan sedang dalam hal keagresifan serta fokus pada sarana dan hasil.
D.    Kesimpulan
Budaya organisasi merupakan sistem nilai bersama, yang dipercaya dan dipegang teguh secara mendalam, akan mempengaruhi cara kerja yang dilakukan dan cara pegawai berperilaku. Cara kerja dan perilaku pegawai yang di anut secara bersama, merupakan manifestasi dari sikap para pegawai, dan akan berpengaruh terhadap cara mereka melakukan pekerjaan, serta menjadi ciri yang membedakan suatu organisasi terhadap organisasi lain.
Sistem nilai bersama merupakan Karaketristik yang berupa; inovasi dan pengambilan risiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan. Karakteristik sebagai gambaran sebuah budaya organisasi, menjadi dasar dalam membangun kesepemahaman anggota organisasi dalam menyelesaikan masalah dan cara berperilaku anggota dalam organisasi.
Budaya organisasi diturunkan dari falsafah pendirinya, selanjutnya memengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan, dengan tindakan manajemen puncak dalam menentukan iklim umum perilaku yang dapat diterima (positif) dan tidak diterima (negatif), kemudian disosialisasikan kepada individu (karyawan), dengan cara mencocokkan nilai-nilai yang dibawa karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi sejak proses seleksi yang melibatkan manajemen puncak dan sosialisasi.
Agar ninali-nilai budaya tertanam dilakukan melalui penanaman simbol-simbol, cerita, ritual, bahasa, panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk hendaknya adaptif dan beretika tinggi.

Daftar Pustaka
David Jaffee (2001), Organization Theory, McGraw Hill Higher Education.
Edgar H. Schein (2004), Organizational culture and leadership, Jossey-Bass A Wiley Imprint, San Francisco.
Fres Luthans (2011), Organizational Behavior, McGraw Hill  New York
Richad L. Daff (2010), New Era Of  Management, Cangage Learning, Americas.
Stephen P. Robbins (2006), Organizational Behavior, Prentice Hall, New Jersey.
Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi (2009), Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orientasi Nilai

Akaah dan Lund mengatakan Nilai harus dibedakan dari konsep-konsep yang lain seperti, pendapat dan sikap. Nilai lebih umum dan kurang terikat secara spesifik untuk setiap objek yang bertentangan dengan banyak pendapat dan sikap, karena itu nilai bisa mendasari berbagai pendapat dan sikap. Nilai adalah standar yang membantu seorang individu merasionalisasi sikap dan tindakan secara pribadi dan sosial yang dapat diterima. [1] Karena nilai-nilai memiliki faktor sosial, memungkinkan seorang individu mengalami rasa bersalah ketika mereka berperilaku tidak sesuai dengan harapan sosial yang mereka anut. Nilai dapat digunakan untuk merasionalisasi perasaan pribadi, moralitas dan kompetensi, untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri, meskipun nilai-nilai ini dipertahankan dengan perilaku yang tidak pantas. Konsep nilai banyak digunakan dalam penelitian guna membandingkan perilaku lintas budaya. Rokeach mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap lebih secara pribadi atau sosi...

MANAJEMEN ORGANISASI

STUDI ORGANISASI   A. Pengertian Organisasi          Organisasi sebagai suatu entitas tempat beberapa orang berkumpul harus benar-benar dipahami keberadaanya, dengan mengenal dan memahami organisasi memungkinkan tujuan yangdiharapkan dapat tercapai. Organisasi dikatakan oleh Gary N. McLean sebagai situasi dimana dua atau lebih orang yang terlibat dalam mencapai tujuan bersama.          Sukanto Reksohadiprodjo dan Hani Handoko mengatakan organisasi sebagai: (1) Suatu lembaga sosial yang secara sadar dikoordinasikan dan dengan sengaja disusun; (2) terdiri dari sekumpulan orang dengan berbagai pola interaksi yang ditetapkan; (3) mempunyai batasan-batasan yang secara relatif dapat diidentifikasikan dan keberadaanya mempunyai basis yang relatif permanen; (4) dan dikembangkan untuk mencapi tujuan-tujuan tertentu.        Gibson, Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske mengataka...

Negosiasi dan Perundingan Kolektif

Istilah negosiasi menggambarkan proses diskusi dari dua pihak atau lebih untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Tujuan harus dibuat win-win situation, artinya sama-sama tidak ada yang dirugikan atau sama-sama menguntungkan bagi pihak yang terkait. Proses ini akan cukup sulit apabila terjadi diantara orang-orang dengan latar belakang yang sama, bahkan akan sangat komplek dalam negosiasi internasional karena perbedaan nilai budaya, gaya hidup, harapan, verbal dan non-verbal language, pendekatan terhadap prosedur formal, dan tehnik  pemecahan masalah.  Kompleksitas akan meninggi ketika negosiasi lintas batas karena adanya banyak pihak yang terkait. Pengimplementasian strategi tergantung pada kemampuan manager untuk bernegosiasi secara produktif, artinya keterampilan akan sangat dipertimbangkan sebagai satu hal yang sangat penting bagi yang melakukan perundingan. Dalam arena global, perbedaan budaya menyebabkan kesulitan dalam proses negosiasi. Perbeda...